Razanews, Jakarta,- (Kaum) Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki (beberapa) kekerabatan etnis dengan Melayu, Sunda, dan Jawa.
Sejarah telah membuktikan bahwa suku Betawi merupakan percampuran antar etnis dan bangsa di masa silam, suku Betawi merupakan masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru.
Produk seni budaya Betawi menjadi saksi betapa budaya Betawi telah berkembang sedemikian rupa.
Setelah adanya percampuran budaya, adat-istiadat, tradisi, bahasa, dan yang lainnya, akhirnya dibuat sebuah komunitas besar di Batavia.
Komunitas ini lama kelamaan melebur menjadi suku dan identitas baru yang dinamakan Betawi.
Penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku diawali dengan pendirian sebuah organisasi bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.
ASAL KATA BETAWI
1. Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia" yang lama kelamaan berubah menjadi "Batavi", dari kata "Batawi" lalu kemudian berubah menjadi "Betawi" (disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal).
2. Menurut penuturan sejarawan Betawi Ridwan Saidi, ada lagi beberapa acuan mengenai asal mula kata Betawi. Salah satunya "Pitawi" (bahasa Melayu-Polinesia Purba) yang artinya larangan.
Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batujaya. Sejarawan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan Candi Batujaya di Karawang merupakan sebuah kota suci yang tertutup, sementara Karawang merupakan Kota yang terbuka.
3. "Betawi" (Bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang.
Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
4. Merujuk pada nama sebuah tumbuhan yang bernama Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh.
Dahulu kala jenis batang pohon Betawi,banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau.
Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan.
Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut "Kayu Bekawi".
Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.
SEJARAH BETAWI SEBELUM MASEHI
Menurut Sejarawan Sagiman MD dan Arkeolog Uka Tjandarasasmita Sejarah penduduk asli Jakarta (dahulu bernama Sunda Kalapa) diawali pada masa zaman batu yang menurut sudah ada sejak zaman neolitikum (3.500–3.000 tahun yang lalu).
Berdasarkan temuan alat² yang ditemukan di situs² itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah halus dll.
Pendapat lain dari Yahya Andi Saputra, seorang alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia, berpendapat bahwa penduduk asli Jakarta adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya, bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama.
Ia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri².
Dahulu, penduduk asli Jakarta berbahasa Sunda Kuno.
Jadi, penduduk asli Jakarta telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu dan bersuku Sunda.
SEJARAH BETAWI SETELAH MASEHI
Periode awal Abad ke-2
Pada abad ke-2 Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi sungai Citarum. Sebagian pendapat ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan Kerajaan Salakanagara.
Hanya saja ibu kota kerajaan dipindahkan dari kaki Gunung Salak ke tepi sungai Citarum. Penduduk asli Betawi saat itu menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara.
Tepatnya letak ibu kota kerajaan di tepi sungai Candrabhaga, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasih, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta.
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha.
Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatra.
Mereka mendirikan permukiman di pesisir Jakarta.
Kemudian menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan.
Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu.
Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10 ,saat terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan orang Jawa, yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.
Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Tiongkok ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu.
Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kerajaan Kediri.
Artinya pelabuhan Kelapa termasuk dibawah kendali Sriwijaya.
PERIODE HUBUNGAN BETAWI DENGAN BANGSA EROPA
Abad ke-16
Diawali dari pertemuan antara Kerajaan Pajajaran dengan pihak Portugis pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugal menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di Sunda Kelapa.
Mengetahui kerjasama tersebut, Kesultanan Demak akhirnya berhasil merebut Sunda Kalapa dari koalisi Pajajaran dan Portugis. Daerah tersebut diubah namanya menjadi Jayakarta (Jakarta).
Kemudian dimulailah proses islamisasi masyarakat Sunda Kelapa, sehingga pada saat itu masyarakat Sunda Kelapa berbudaya dan berbahasa jawa sama seperti wilayah pesisir lainnya yaitu Serang, Indramayu dan Cirebon. Itulah sebabnya hingga kini masih tersisa kosakata dan budaya jawa pada suku betawi.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini.
Ketika itu VOC memaksa penduduk menggunakan bahasa melayu pasar.
Selain itu VOC juga banyak mendatangkan bawahan dari luar pulau.
Sejak saat itulah bahasa betawi menjadi kreol melayu.
Ketika Malaka (yang dikuasai Portugis) jatuh ke tangan Belanda (1641), sekitar 800 tawanan Portugis diasingkan ke Batavia.
Dari tawanan tersebut, pada tahun 1661, sebanyak 23 keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak di area seluas 20 hektar di Kampung Tugu, dengan persyaratan berpindah keyakinan dari Katolik ke Kristen Protestan.
Dari keturunan Portugis inilah sejarah Keroncong Tugu tercipta.
VOC juga banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.
Dari situlah penyebab masih tersisanya kosakata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini.
Setelah itu kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.
Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok.
Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.
Rumah Bugis di bagian utara Jalan Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690.
Abad ke-19
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya.
Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada.
Misalnya saja orang Arab dan Moor, Tionghoa, orang Melayu, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda.
Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Abad ke-20
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Pendapat lain mengatakan bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi.
Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Brunei dan Thailand Selatan yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia.
BETAWI SETELAH KEMERDEKAAN
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas.
Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu.
Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai² digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah,salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir.
SENI DAN BUDAYA BETAWI
Kebudayaan Betawi saat ini terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo.
Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan Sunda Kelapa, Batavia dan sekarang Jakarta, merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Suku Betawi, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Bugis, dan lainnya..
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, Belanda, dan Portugis.
Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
BAHASA BETAWI
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir.
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah sering kali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara).
Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.
Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi dialek Tengahan, Bahasa Melayu Dialek Jakarta, atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah² lain,di Nusantara maupun kebudayaan asing.
SENI MUSIK
Seni musik Betawi merupakan seni hasil akulturasi berbagai suku yang ada di Betawi. Gambang Kromong merupakan perpaduan seni musik Betawi dengan Tionghoa, Rebana yang berakar dari tradisi musik Arab, orkes Samrah yang berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana, Tanjidor dan Keroncong.
Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Pengaruh budaya Jawa dengan sedikit unsur Sunda didalamnya juga ada dalam kebudayaan Betawi, seperti: pementasan wayang.
SENI TARI DAN DRAMA
Ondel-ondel adalah bentuk pertunjukan seni khas Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta rakyat.
Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak menentu, tetapi biasanya diiringi dengan irama gambang kromong dan tanjidor.
Ada juga yang di iringi dengan silat pencak betawi, marawis, hadroh dan rebana ketimpring.
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya.
Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain.
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil.
Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka.
Kadang² pemeran Lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
CERITA RAKYAT
Banyak Cerita rakyat yang berkembang di Betawi diantaranya yang sudah dikenal seperti Si Pitung, Si Jampang, Ronda, Sabeni yang mengisahkan jawara² Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.
Cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
SENJATA TRADISIONAL
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan dari kayu.
RUMAH TRADISIONAL
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya.
Terdapat pula rumah tradisional lain seperti rumah panggung Betawi.
Suku Betawi di Jakarta mengenal tradisi "Bikin Rume" yang dilakukan ketika hendak membangun rumah.
AGAMA DAN KEPERCAYAAN
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam.
Angropolog Fachry Ali dari IAIN Pekalongan menyatakan Islam sebagai salah satu sumber identitas dan budaya Betawi, sehingga tidak bisa dipisahkan.
Forum Betawi Rempug (FBR) menyatakan salah satu etos organisasi mereka tiga S: Sholat, Silat dan Sekolah.
Ada pula komunitas kecil Betawi yang menganut Kekristenan yakni Katolik dan Protestan.
Salah satu komunitas ini adalah dari Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Mereka menyatakan mereka keturunan campuran antara penduduk lokal dengan Mardijkers, bangsa Portugis ataupun Belanda. Selain itu ada pula komunitas Kristen Kampung Sawah.
PERILAKU DAN SIFAT
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang² dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius.
Orang Betawi juga sangat menjaga nilai² agama yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme.
Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dengan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi.
Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain..
PROFESI
Sebelum era Orde Baru, profesi orang Betawi terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing².
Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing² kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan pembauran etnis dasar masing².
Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kamboja Jepang, dan lain-lain) dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik.
Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi.
Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan.
Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Si Pitung dari Rawabelong.
Kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
Guru, pengajar, ustaz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang dikenal sekarang ini.
Sumber : Wikipedia, Three Old Sundanese Poems. KITLV Press. 2007, "Jakarta Traditional Dance – Betawi Mask Dance". Indonesia Travel Guide. 4 Agustus 2015, "Lenong". Encyclopedia of Jakarta. Pemprov DKI Jakarta. 13 Oktober 2013.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-13, "Yapong Dance, Betawi Traditional Dance". Indonesia Tourism "Betawi or not Betawi?". The Jakarta Post.
Dan berbagai sumber lain.
( rz.ajh )