Razanews,Jakarta,- Tragedi berdarah pada 30 September 1965, yang menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang dituding menjadi aktor utamanya, membuka jalan bagi Soeharto tampil bak pahlawan
Pagi, 6 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengumpulkan menteri-menteri Kabinet Dwikora di Istana Bogor
Soal yang akan dirapatkan tak lain adalah peristiwa pembunuhan enam jenderal utama Angkatan Darat yang terjadi sepekan sebelumnya
Dalam sidang itu PKI, yang dituding berada di balik layar Peristiwa G30S, diwakili Njoto dan M.H. Lukman
Aidit, sang ketua, belum diketahui keberadaanya
Pada pokoknya, Njoto menyatakan bahwa PKI tak terlibat dan peristiwa itu adalah masalah internal Angkatan Darat
Presiden Soekarno sendiri kemudian angkat bicara, menganggapnya sebagai peruncingan biasa dalam suasana revolusi
"Een rimpeltje in de oceaan—riak-riak kecil di tengah lautan,” demikian kata Soekarno
Wartawan secara terbatas dibolehkan meliput sidang itu. TVRI pun menyiarkannya, sehingga Ratna Sari Dewi, istri Soekarno yang orang Jepang itu, bisa menontonnya dari kediamannya di Jakarta
Selama beberapa hari ia belum bertemu suaminya dan tentu saja ia gusar
Tapi tayangan TVRI itu bukannya mengobati, malah membikin Dewi makin gusar
Di layar TV Soekarno tampak tenang dan banyak senyum, seolah-olah tak terjadi apa-apa
Soekarno tampak santai guyonan dengan wartawan dan merokok
Melihat itu Dewi kecewa dan lantas menulis surat untuk memperingatkan Soekarno
Di tengah situasi yang tak menentu seperti saat itu, sikap Soekarno jelas rawan disalahartikan
Terlebih Soekarno tak hadir dalam pemakaman para jenderal sehari sebelumnya
Dua hari setelahnya, Soekarno membalas surat Dewi
Sebagaimana dikutip Willem Oltmans dalam Bung Karno Sahabatku (2001: 226), Soekarno menjawab, “Kamu jangan salah memahami saya. Pada rapat kabinet itu saya tersenyum untuk menunjukkan kepada dunia bahwa saya aman dan bahwa situasi sudah kukendalikan, saya juga tertawa untuk memberi kepercayaan dan kekuatan kepada rakyat saya.”
Nyatanya Soekarno salah perhitungan dan kekhawatiran Dewi terjadi
Desas-desus bahwa presiden kemungkinan terlibat atau minimal tahu lebih dulu Peristiwa G30S segera tersebar liar
Dan lagi, sejak itu Soekarno tak lagi punya kendali penuh atas politik sebagaimana ia yakini
Itulah lonceng pembuka babak akhir perjalanan politik dan kehidupan Soekarno
Setelah PKI dan semua onderbouw-nya dibabat habis, politik keseimbangan yang ia mainkan sejak 1960 runtuh dan Angkatan Darat kini tak terbendung
Jenderal Soeharto perlahan-lahan mengambil alih panggung dan menyisihkan Soekarno
Lonceng kedua berdentang ketika Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966
Esoknya Soeharto membubarkan PKI dan pada 18 Maret menangkap 15 menteri loyalis Soekarno
Lalu pada 27 Maret, Soekarno dengan sangat terpaksa mengumumkan kabinet baru bentukan Soeharto
Setelah segala kewenangannya dipereteli, Soekarno diperlakukan tak lebih sebagai tukang teken dokumen
John D. Legge dalam Soekarno: Sebuah Biografi Politik (1996) menyebut itulah tengara kematian karier politik Soekarno
Selanjutnya Soeharto-lah yang pegang kendali dan mulai menjalankan kebijakan-kebijakan yang sebagian besar bertolak belakang dengan kebijakan Soekarno
Ia bahkan dibatasi berbicara di hadapan publik; "'Saya diam dalam seribu bahasa,' katanya ketika melihat kekuasaannya mulai berangsur-angsur diambil dari tangannya, sedangkan ia sangat ingin menyatakan pendapatnya," tulis Legge
Soekarno bukannya tak berbuat apa-apa
Pada 22 Juni 1966, di hadapan MPRS, ia menyampaikan pidato pertanggungjawaban selama jadi presiden dan soal Peristiwa G30S
Pidato berjudul Nawaksara itu ditolak MPRS
Soekarno lalu menyampaikan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967 yang lagi-lagi ditolak MPRS
Itu adalah usaha terakhirnya untuk mempertahankan diri dan, ia kalah!
Pada 12 Maret 1967 MPRS mengumumkan secara resmi pencabutan mandat Soekarno sebagai presiden dan kemudian menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden
Meski Soeharto baru dilantik jadi presiden betulan setahun kemudian, jelas bahwa Soekarno kini bukanlah siapa-siapa
Tak lagi punya kuasa, dunia Soekarno seperti dijungkirbalikkan
Atas perintah Soeharto, Soekarno dan keluarganya di ultimatum untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967
Dulu, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, Soekarno masuk istana dengan seluruh kebesarannya sebagai pemimpin
Kini, ia keluar dari istana dengan hanya berkaos oblong dan celana piyama!
Segala kekayaan yang ia bawa adalah bendera merah putih, beberapa botol minuman ringan, kue-kue, dan obat-obatan
Statusnya kini adalah tahanan Orde Baru
Mulanya ia ditahan di rumahnya di daerah Batu Tulis, Bogor, lalu dipindahkan ke Wisma Yasoo, Jakarta pada 1969
Penahanan itu rupanya berefek buruk bagi kesehatan Bung Besar
Ini karena tim dokter kepresidenan sebelumnya, yang tahu detail soal kondisi medis Bung Karno, telah dibubarkan
Padahal Soekarno diketahui mengidap sakit ginjal parah
Ginjal kanannya sudah mati, sedangkan ginjal kiri hanya berfungsi 25 persen
Lain itu, ia juga mengidap sakit jantung dan darah tinggi
Sejak ditahan, diagnosis baru muncul: rematik dan gejala katarak
Dalam kondisi demikian, ia pun masih harus menjalani interogasi dari Kopkamtib soal keterlibatannya dalam G30S
Tapi yang paling tragis dari Soekarno kini adalah kenyataan bahwa ia harus menghadapi semua itu nyaris sendirian
Ia dijaga demikian ketat dan diputus dari dunia luar
Bahkan anak-anak dan istrinya harus dapat ijin khusus untuk sekadar menemuinya itu pun dengan waktu terbatas
Soekarno sang pencinta itu lunglai ditinggal istri-istrinya
Pada medio 1966 Sukarno mendesak Dewi untuk pergi ke Jepang demi keamanannya
Tak berapa lama Dewi melahirkan bayi perempuan buah cintanya dengan Soekarno di sana
Pada awal 1970 keduanya bercerai
Begitu juga Haryati dan Yurike Sanger
Fatmawati, meski tak bercerai, sudah putus hubungan dengan Soekarno sejak menikahi Hartini pada 1953
Sejak itu hanya sekali ia bertemu lagi dengan Soekarno, saat pernikahan Guntur Soekarnoputra pada 1970
Pada akhirnya pun keduanya bercerai setelah itu
Hanya Hartini yang bertahan hingga saat-saat terakhir Bung Besar. Terpencil dan kesepian, itulah warna dunia Soekarno kini
Sampai akhirnya Bung Karno terkena depresi, setiap hari hanya duduk sambil termenung
Malah kadang-kadang ngomong sendirian
Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot, kenang Ketua Tim Dokter Kepresidenan yang merawat Bung Karno, Mahar Mardjono, sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang
Pada 6 Juni 1970 Soekarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69
Kelima anaknya dari Fatmawati serta Hartini dan dua anaknya, Bayu dan Taufan, hadir di Wisma Yasoo di hari bahagia itu
Tak ada karangan bunga, ucapan selamat, atau hadiah-hadiah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya
Yang ada hanyalah Soekarno yang semakin ringkih digerogoti penyakit dan depresi
Tak ada yang menyangka itu adalah ulang tahun terakhir Sukarno
Pada 11 Juni Soekarno dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto karena kondisi tubuhnya memburuk
“Soekarno terbaring lemah di sebuah ruangan yang terletak di ujung rumah sakit, bercat kelabu. Untuk mencapai kamar itu harus melalui beberapa koridor yang dijaga militer dengan persenjataan lengkap,” tulis Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Soekarno
Di saat-saat kritis itu, datanglah dua tamu yang barangkali bisa memberi sedikit kelegaan di hati Soekarno
Tamu pertama adalah sahabat lamanya, Mohammad Hatta, yang datang menjenguk pada 19 Juni
Dua proklamator yang pecah kongsi sedari 1956 itu akhirnya bertemu dalam momen yang amat menyentuh
Sejak mereka berpisah, Hatta menjadi salah satu kritikus Soekarno yang paling vokal
"Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama," tutur Soekarno dalam autobiografinya
Tapi perbedaan jalan politik tak melunturkan persahabatan mereka
Bagaimanapun, dua orang itu pernah menghadapi masa sulit bersama-sama
“Hatta, kau di sini?” kata Soekarno terkejut melihat kedatangan Hatta
"Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Keduanya lantas berpegangan
Tak ada kata-kata lain yang terucap di antara keduanya
Soekarno terisak laiknya anak kecil
“No...”
Hatta yang berusaha tegar luluh juga akhirnya, ia ikut menitikkan air mata
Dan hanya tangis itulah yang mengisi pertemuan terakhir dwitunggal itu
"Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang,” tulis Meutia Hatta, putri Hatta, sebagaimana dikutip Peter
Di hari itu juga, keluarga Soekarno mendapat kabar bahwa Dewi akan datang menjenguk suaminya
Saat itu ia masih tertahan di Singapura karena belum dapat izin dari rezim Soeharto
Baru keesokan harinya Dewi mendapat izin
Rachmawati Soekarnoputri begitu bungah mendengar kabar itu
Ia tahu benar perempuan jelita itulah yang bisa melipur hati Sukarno yang lama kering
Setidak-tidaknya di saat terakhir ada seketip kebahagiaan untuk bapaknya
Dewi membawa serta buah hatinya dengan Sukarno, Kartika Sari Dewi
Kala itu Kartika, yang lebih akrab disapa Karina, baru berumur tiga tahun
Karena lahir di Jepang, Soekarno belum pernah melihat anaknya hingga saat itu
“Karina ke sini, ini Bapak, this is your father, Karina,” kata Dewi ketika keduanya akhirnya bertemu lagi
Antara sadar dan tidak, tangan Soekarno bergerak seakan-akan ingin menggapai putri kecilnya
Sayang sekali Soekarno sudah tak punya daya apa-apa lagi
Bahkan untuk mempertahankan kesadaran adalah perjuangan tersendiri baginya
Usai kedatangan Dewi dan Kartika, kesadaran Sukarno berangsung hilang
Menjelang tengah malam ia koma
Keesokan paginya, 21 Juni 1970, Soekarno menyerah dan; Wafat..
Bung Besar seolah-olah hanya menunda kepergian sebelum bertemu tiga orang yang sangat berarti dalam hidupnya: Hatta, Dewi, dan Karina
Lantas apakah perlakuan kasar terhadapnya berakhir?
Tidak!
Permintaan Fatmawati agar Sukarno disemayamkan di rumahnya ditolak rezim Soeharto
Soekarno harus disemayamkan di Wisma Yasoo
Permohonan Dewi dan Hartini untuk memakamkannya di Batu Tulis setali tiga uang
Soeharto hanya memperkenankan Sukarno dimakamkan di Blitar
“Bung Karno sewaktu hidupnya sangat mencintai ibunya. Beliau sangat menghormatinya. Kalau beliau bepergian jauh, ke mana pun beliau sungkem dahulu, meminta doa restu kepada ibunya. Melihat kebiasaan Bung Karno begitu, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau Proklamator itu dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar,” demikian dalih Soeharto.
#MasBalog_Iskandar
#berbagaisumber
#Rz.Ajh