Peran ulama dalam memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak diragukan lagi. Para ulama menempati kedudukan terhormat di mata masyarakat. Sebab itulah imbauan ataupun perintah dari tokoh-tokoh agama akan segera mereka patuhi.
Keberadaan mereka yang hadir di tengah masyarakat secara otomatis melihat langsung penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Melalui majelis-majelisnya para ulama menyerukan untuk melakukan perlawanan terhadap para penjajah. Hal ini pula yang dilakukan oleh para ulama yang memimpin sebuah tarekat.
Keterlibatan kaum tarekat dalam perlawanan terhadap penjajah dapat ditemukan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pada tahun 1819 pasukan Belanda di bawah komandan Herman Muntinghe menyerang kota Palembang. Perang yang dikenal dengan sebutan Perang Menteng ini melibatkan Tarekat Sammaniyah. Haji Muhammad Zain sebagai pemimpin Tarekat Sammaniyah menggerakan pengikutnya untuk berjihad membela Tanah Air.
Para pengikut Tarekat Sammaniyah sebelum terjun ke medan perang terlebih dahulu melakukan dzikir. Mereka membaca asma Allah, berdzikir, dan beratib dengan suara keras hingga sampai pada titik fana.
Hal inilah yang menjadikan mereka berani melawan pasukan Belanda dengan persenjataan yang lebih modern.
Perang Menteng ini selalu diingat oleh setiap orang Palembang yang diabadikan lewat sebuah Syair Perang Menteng terdiri dari 260 bait. Syair tersebut memuat dimensi tarekat ketika perang terjadi. Di antara petikan syair tersebut ialah sebagai berikut:
Delapan belas harinya Sabtu
bulan Sya’ban ketika waktu
pukul empat jamnya itu
haji berdzikir di pamaratan tentu
Haji ratib di pengadapan
berkampung menghadap ayapan
tidaklah ada malu dan sopan
Ratib berdiri berhadapan
La ilaha illa allah dipalukan kekiri
kepada hati nama sanubari
datanglah opsir memaksa berdiri
haji berangkat opsir pun berlari
Haji terteriak Allahu Akbar
datang mengamuk tak lagi sabar
dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabar
serdadu menteng habislah bubar
Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang tidak lepas dari peran Syekh Abdussamad Al-Falimbani. Ulama dari Palembang ini berguru langsung kepada pendiri Tarekat Sammaniyah yaitu Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Saman Al-Madani.
Di antara karya tulis dari Sykeh Abdussamad Al-Falimbani ialah Nashihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadhail al-Jihad fi Sabil Allah. Karya tulis ini memuat nasihat dan keutamaan bagi muslimin yang berjihad di jalan Allah.
Ketika Syekh Abdussamad Al-Falimbani berguru kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Saman Al-Madani, beliau bertemu dengan ulama Nusantara lainnya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang juga menerima ijazah Tarekat Sammaniyah.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau yang juga dikenal dengan panggilan Datu Kalampayan berperan penting dalam perkembangan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan. Keturunan dan murid-murid beliau menyebar ke pelosok-pelosok Kalimantan Selatan untuk mengemban misi dakwah.
Ketika Perang Banjar di Kalimantan Selatan pecah terdapat sebuah gerakan dzikir yang ikut serta dalam misi perlawanan melawan Belanda.
Gerakan ini bernama Gerakan Baratib Ba’amal yang dipimpin oleh Penghulu Abdurrasyid. Ratib yang disusun oleh Penghulu Abdurrasyid ini dibaca oleh pengikutnya sebelum terjun ke medan perang.
Adapun sebagian bacaan dzikir dalam Gerakan Baratib Ba’amal ialah sebagai berikut:
La ilaha illallah, menadah kepada Tuhan, rizki minta murahkan, bahaya
minta jauhkan, umur minta panjangkan, serta iman.
La ilaha illallah, tummat di Mekkah ke Madinah, disitu tempat Rasulullah.
La ilaha illallah, tummat di Mekkah ke Madinah, di situ tempat Siti Fatimah.
La ilaha illallah, hati yang sidiq, ia maulana, ia Muhammad Rasulullah.
La ilaha illallah, hati yang mu’min bait Allah.
La ilaha illallah, nabi Muhammad hamba Allah.
La ilaha illallah, nabi Muhammad pesuruh Allah.
La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.
La ilaha illallah, Muhammad sifat Allah.
La ilaha illallah, Muhammad aulia Allah.
La ilaha illallah, maujud hamba Allah.
La ilaha illallah
Tidak menutup kemungkinan bahwa Gerakan Baratib Ba’amal memiliki hubungan dengan Tarekat Sammaniyah. Sebab ketika itu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan khalifah mutlak dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Samman Al-Madani membagikan ijazah Tarekat Sammaniyah agar tidak terputus ajarannya.
Hal ini diperkuat pula ketika Pangeran Antasari pimpinan Perang Banjar memberi nama Muhammad Seman kepada anaknya yang kemungkinan besar untuk mengambil berkah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Samman Al-Madani.
Kelak ketika Pangeran Antasari wafat perjuangan dilanjutkan oleh Muhammad Seman. Pada tahun 1888, Sultan Muhammad Seman membangun sebuah masjid di Baras Kuning yang dipergunakan sebagai pusat Gerakan Baratib Ba’amal. Perang Banjar merupakan perang dengan durasi yang sangat lama. Perang ini pecah pada tahun 1859 dan berakhir ketika Sultan Muhammad Seman ditembak oleh pasukan elit Marsose Belanda pada tahun 1905.
Pengaruh tarekat dalam perjuangan melawan penjajah membuat Belanda menaruh curiga berlebih terhadap para pemimpin tarekat. Pada akhir 1889, Snouck Hurgronje seorang penasihat Belanda untuk wilayah Hindia Belanda (Indonesia) berkeliling Pulau Jawa dan mendapati pemerintah Belanda memburu guru-guru agama termasuk di dalamnya pemimpin tarekat. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa para guru tarekat merupakan musuh yang sangat berbahaya bagi kelangsungan pemerntah Belanda. Sebab itulah segala bentuk ibadah kaum tarekat selalu diawasi sambil dijegal langkah-langkah politiknya.
Hal inilah yang dirasakan oleh Haji Abdullah pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sulawesi Selatan. Beliau ditangkap oleh Belanda dengan tuduhan memeras penduduk ketika melakukan kunjungan ke Bone. Haji Abdullah membela diri ketika dilakukan sesi wawancara oleh Controler Maros pada 1924. Beliau mengutarakan bahwa kunjungan ke Bone bermaksud untuk menagih pinjaman. Namun, segala macam pembelaan diri dari Haji Abdullah mental begitu saja. Beliau berada dalam posisi tersudut karena fitnah terus-terusan datang.
Gerakan tarekat sangat mengakar pada umat Islam Indonesia. Sebab itu tidak mengherankan jika gerakan ini menjadi pionir perlawanan terhadap penjajah Belanda. Sebab para ulama atau pemimpin tarekat lekat kehidupannya di akar rumput masyarakat. Mereka melihat dengan jelas penindasan dan kezaliman yang dilakukan oleh penjajah. Maka dari itu gerakan tarekat merupakan gerakan yang lahir pada akar masyarakat untuk memperjuangkan kemerdekaan
Sumber:Republika.com
Reposted:@jasmerah
Catatan Sejarah: Bukti Otentik yang tidak akan bisa dirubah oleh siapapun,dan untuk sejarah bangsa harus tetap diingat dan dikenali oleh seluruh generasi bangsa✍️📖.