Siapa sangka jika subuh itu adalah pagi terakhir bagi Khalifah Umar bin Khattab. Seorang pemberontak bernama Abu Lu’lu’ah menerobos di sela-sela shaf jamaah dan berhasil mendaratkan enam tikaman pada tubuh Sang Khalifah.
Praktis, Umar terkapar dan bersimbah darah. Luka akibat tikaman khanjar (golok bermata dua) itu rupanya sangat parah dan mengakibatkan Umar meregang nyawa. Sebelum wafat, Umar masih sempat memikirkan tahta kekhalifahan berikutnya. Singkat cerita, Umar membentuk Majelis Syura sebagai lembaga yang bertugas untuk memusyawarahkan dan menyepakati bersama, siapa yang layak menduduki kursi khalifah berikurtnya.
Secara rinci, Muhammad Suhail Thaqusy dalam Tarikhul Khulafa menyebutkan enam anggota Majelis Syura tersebut, yaitu Utsman bin Affan dari Bani Umayah, Ali bin Abi Thalib dari Bani Abdul Muthalib, Zubair bin Awwam dari Bani Abdul ‘Izzah, Abdurrahman bin ‘Auf dari Bani Zuhrah, Sa’d bin Abi Waqash dari Bani Zuhrah, dan Thalhah bin Ubaidillah dari Bani Tamim. (Suhail Thaqusy, Tarikhul Khulafa, h. 367) Suhail Thaqusy melanjutkan, jika kita mencermati enam sahabat yang ditunjuk sebagai anggota Majelis Syura tersebut, jelas bahwa Umar memiliki beberapa prioritas dalam menunjuk anggota.
Pertama, keenam sahabat itu dari kalangan suku Quraisy. Kedua, mereka tergolong sahabat-sahabat senior. Ketiga, mereka adalah orang-orang yang mendapat restu dari Rasulullah pasca beliau wafat. Keempat, mereka termasuk enam dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga dari Rasulullah.
Kelima, mereka merupakan corong-corong penting yang memiliki kekuasaan, otoritas, dan pengaruh di Madinah. Umar sendiri pernah mengkalim, “Mereka semua adalah para pemuka dan pimpinan masyarakat”, juga pernah bersabda kepada mereka, “Hanya kalian yang mampu memegang urusan ini.” (Suhail Thaqusy, h. 367) Dari spesifikasi yang disebutkan Suhail Thaqusy di atas, penulis akan uraikan dua spesifikasi yang sudah mewakili semua spesifikasi di atas, yaitu status anggota Majelis Syura sebagai Suku Quraisy dan tingkat kemuliaan mereka. Keutamaan Suku Quraisy
Dalam sejarah suksesi khalifah selepas kewafatan Rasulullah saw, suku Quraisy selalu mendapat superioritas politis. Dalam beberapa sabdanya, Rasulullah sendiri mengakui keunggulan suku Quraisy dibanding suku-suku lainnya. Salah satunya adalah hadits berikut: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :اَلنَّاسُ تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هٰذَا الشَّأْنِ. مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ. وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Manusia itu dalam urusan ini menjadi pengikut kaum Quraisy. Orang Muslim dari mereka mengikuti muslim Quraisy, demikian pula orang Kafir mereka mengikuti orang yang kafir dari kaum Quraisy.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berangkat dari hadits di atas, dijelaskan dalam kitab Fatawa Darul Ifta al-Mishriyah (Kumpulan Fatwa Lembaga Fatwa Mesir), alasan suku Quraisy mendapatkan superioritas adalah karena pada era jahiliah, suku Quraisy merupakan pembesar-pembesar masyarat Arab. Selian itu, mereka juga penduduk asli Tanah Haram (Makkah).
Begitu mereka memeluk Islam dan Makkah ditaklukkan oleh Muslim, orang-orang mengkuti mereka dan berbondong-bondong masuk Islam. (Darul Ifta al-Mishriyah, juz 8, h. 180) Mencermati penjelasan tersebut, superioritas yang diberikan suku Quraisy bukan karena identitas kesamaan suku dengan Rasulullah yang kebetulan juga dari Quraisy, tetapi berdasarkan kualitas dan kapabilitas suku Quraisy sendiri.
Superioritas Quraisy yang kemudian dijadikan sebagai legitimasi mereka dalam kursi pimpinan negara juga mendapat pengakuan dari mayoritas ulama Ahlusunnah wal Jamaah. Termasuk di antaranya adalah Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sultaniyyah, An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Al-Iji dalam Al-Muwafiq fi ‘Ilmil Kalam, dan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah.
Meski begitu, konteks hari ini tidak lagi relevan jika syarat seorang pemimpin harus dari suku Quraisy, mengingat sudah tidak lagi relevan, baik secara teritorial, kondisi sosial, politik, dan berbagai aspek lainnya. Tetapi kita tetap bisa mengambil subtansinya, yaitu memilih pemimpin dengan melihat kapabilitasnya, bukan kesukuannya. Berdasarkan pemaparan di atas, jelas bahwa alasan Umar bin Khattab memilih keenam sahabat dari suku Quraiys tadi berdasarkan kecakapan mereka dalam berbagai aspek, baik dari ketokohan, pengaruh, kemapanan moral, kapabilitas administratif, dan lain sebagainya. Terlebih semua itu juga mendapat legitimasi dari Rasulullah langsung jauh-jauh hari.
Derajat kemuliaan
Para sahabat merupakan umat Muslim yang memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Hal ini wajar karena kehidupan mereka satu masa dengan Rasulullah saw. Tingkat kemuliaan mereka pun berbeda-beda dan dipengaruhi oleh banyak hal. Seperti karena tergolong dalam as-sabiqunal awwalun (sahabat yang lebih dahulu masuk Islam), keterlibatan dalam Perang Badar, keikutsertaan dalam Bai’atur Ridhwan, dan lain sebagainya.
Syekh Abdul Ghani ad-Daqqar dalam Aqidatul Imam Ahmad menyebutkan, sahabat yang paling utama adalah mereka yang terlibat dalam Bai’atur Ridhwan. Dari Bai’atur Ridhwan ada yang lebih utama lagi, yaitu para Ahlu Badar (sahabat yang terlibat dalam Perang Badar). Dari seluruh Ahlu Badar, ada 40 yang terbaik, yaitu sahabat yang tergolong dalam as-sabiqunal awwalun (lebih dahulu masuk Islam). Dari 40 as-sabiqunal awwalun, ada yang lebih terbaik lagi, yaitu 10 sahabat yang dijamin masuk surga dan kemudian ditunjuk Umar bin Khattab sebagai anggota Majelis Syura. Dari 10 sahabat yang dijamin masuk surga, ada 4 sahabat yang paling utama, yaitu para Khulafaur Rasyidin. (Aqidatul Imam Ahmad, hal. 149) Dari pemaparan Ad-Daqqar di atas, jelas bahwa enam sahabat yang ditunjuk sebagai anggota Majelis Syura tersebut menduduki kemuliaan kedua setelah Kluhafaur Rasyidin. Bahkan di antara mereka Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang termasuk (calon) Kluhafaur Rasyidin.
Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/alasan-umar-bin-khattab-pilih-6-sahabat-sebagai-anggota-majelis-syura-DaIWZ, (rz.ajh)